Picture

Kamis, 17 Maret 2011

Click





Akhir minggu lalu ketika memutuskan untuk melihat film berjudul Click yang dibintangi Adam Sandler, saya mengharapkan sebuah film lucu-lucuan yang akan menghibur diri yang telah penat oleh rutinitas pekerjaan, sebagaimana kebanyakan film Adam Sandler dan begitupun ketika saya melihat potongan iklannya di TV. Akan tetapi tidak begitu ketika justru rasa haru yang melingkupi setelah selesai film itu.


Awal film memang berisi “lucu-lucuan” (saya sebut begitu untuk sebuah situasi yang tidak benar-benar lucu, tetapi dibuat-buat lucu), yaitu bagaimana ketika Michael Newman(Adam Sandler) yang dibuat pusing oleh urusan keluarga dan pekerjaan, menemukan sebuah ruangan rahasia di sebuah toko, tempat seorang ilmuwan mengerjakan proyek-proyek masa depan. Disinilah dia mendapatkan hadiah berupa “universal remote control“. Sang ilmuwan tidak menuntut bayaran, tetapi hanya dia tidak ingin hadiahnya dikembalikan. Jawaban Newman, “Mengapa saya harus mengembalikan barang yang gratis?”

Remote control tersebut membuat hidup seperti film DVD, bisa di-rewind, bisa di-pause, bisa di-forward, bisa di-mute, bahkan bisa multiview. Hidup terasa begitu indah, semua ada dalam kendali. Ketika dia menemukan hal-hal yang menyebalkan, dia forward, misalkan ketika bertengkar dengan istri, sakit atau bahkan berhubungan seks (dia terlalu capek untuk memijat istrinya sebelum berhubungan). Namun seiring dengan berjalannya waktu, si remote control sering mem-forward secara otomatis. Hidup jadi meloncat-loncat, ketika sakit maka tiba-tiba ter-forward sampai sembuh. Ketika ditanyakan pada sang ilmuwan misterius, ternyata remote control itu punya memory, dia akan secara otomatis melakukan sesuatu sesuai pola yang telah menjadi preference penggunanya. Ketika Newman akan mengembalikan, ilmuwan itu mengatakan dia pernah mengatakan tentang hal itu ketika menyerahkan remote control kepadanya.

Dan begitulah hidup dijalani oleh Newman, setiap saat hidupnya ter-forward, dan semakin lama semakin parah lompatannya, dia bahkan ter-forward 30 tahun ke depan. Dia menemukan dirinya sudah menjadi CEO perusahaan, dan bangun dengan badan yang luar biasa kegemukan. Anaknya yang dulu masih kecil-kecil kini telah besar dan sukses seperti dirinya. Yang menyedihkan, istrinya telah menikah dengan laki-laki lain. Juga ayahnya yang dia sayangi tiba-tiba sudah meninggal dunia. Namun dia tidak merasakan dan ingat apa-apa, karena hidupnya ter-forward begitu saja. Akhirnya ketika dia sekarat oleh penyakitnya, dia berpesan pada anak laki-lakinya yang akan menunda bulan madu demi pekerjaannya, bahwa yang terpenting adalah keluarga.

Film ini adalah cerminan hidup kita-kita, betapa sering kita mengalahkan kepentingan orang-orang yang menyayangi kita demi karir dan pekerjaan. Kita sering beralasan, toh aku kerja keras begini buat keluarga. Kita sering melewatkan momen-momen penting karena kesibukan, kita sering “mem-forward“ hidup kita. Demikian pula ketika kita berhadapan dengan masalah dan kesulitan, kita ingin melarikan diri dan melewati begitu saja. Kita sering lupa bahwa begitulah hidup, ada susah ada senang, ada kegagalan ada keberhasilan. Nikmatilah sakitnya, nikmatilah pusingnya, karena hidup ini singkat. Lalu jangan lewatkan momen-momen bersama keluarga, orang tua, dan teman-teman yang menyayangi kita, waktu akan dengan cepat memisahkan kita.

Terus terang film yang dibuat oleh Yahudi Amerika ini (asumsi saya, karena di nisan bapaknya ada lambang “Bintang Dawud”) begitu menyentuh hati saya, jauh lebih menyentuh daripada sinetron-sinetron berkedok religi yang ujung-ujungnya mistik dan takhayul. Begitu menyentuh sampai air mata bercucuran. Buat ibuku yang telah seumur hidupnya bekerja keras dan menerima perilaku burukku kepadanya, yang telah meninggalkan dunia tanpa sempat menuai yang ditanamnya, semoga Allah memberi engkau pahala dan kenikmatan akhirat, setiap anakmu ini mendapat nikmat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

i love my blog !!